Inspirasi Sehari-hari
PESAN CINTA SEBUTIR NASI
Karya: Yoyo Setiawan
Kawan, pernahkah terlintas di pikiranmu,
bahwa ketika kamu makan dengan lahapnya sampai kekenyangan, di tempat lain
banyak orang berharap ada seseorang yang memberi mereka sekedar sesuap nasi
untuk mengisi perutnya?.
Boleh jadi ketika di rumahmu banyak
makanan, terutama nasi, sampai terbuang-buang. Di tempat lain, bahkan mungkin
kau tak tahu, tetanggamu, sedang tidak punya nasi, kelaparan.
Bisa juga, saat kau dan teman-teman
sedang berpesta senang-senang. Di tempat lain, banyak orang menahan perutnya
sakit karena berhari-hari tidak makan.
Kawan, ketika makanan yang terlalu
banyak sudah terbuang-buang, sedang di tempat lain kelaparan, maka sebenarnya
di mana kesalahannya?
Tidak ada yang salah! Semua rencana
Tuhan ada di hati kawan-kawan.
Di situ Tuhan menguji hati dan cinta.
Ada hati yang menjerit, ada yang
tertawa-tawa…lalu yang mana hati kita, di mana empati kita?
Sebutir nasi adalah sama-sama mahluk
Allah, tidaklah Allah menciptakan sesuatu, melainkan ada manfaatnya.
Apabila hati atau akal kita sebagai
manusia tidak menemukan manfaatnya, bisa jadi keilmuan kita masih sangat
sedikit, belum menjangkau sampai ke sana.
Ketika sebutir nasi adalah ciptaan Allah
yang diberi hak meminta pertanggungjawaban ketika dizolimi, maka sebagai
manusia harus bersiap menunggu tuntutan dari sebutir nasi sebagai berikut :
Ketika ada mahluk Tuhan lain yang
kelaparan, kenapa kamu malah membuang makanan yang sedang sangat dinantikannya? Maka, atas kekerasan
hatimu-lah Tuhan memberikan teguran. Bisa jadi itu berwujud diabetes, kolesterol, asam urat, stroke
atau semacamnya.
Aduhai, sungguh celaka apabila Tuhan
sampai marah dengan kesombongan kita. Mari kita renungi tuturan seorang
sahabat, pitutur seorang rantau yang kenyang asam garam kehidupan.
Ketika sebutir nasi berdoa agar manusia
yang bersyukur diberikan balasan yang lebih baik, yaitu manusia yang tidak
menyia-nyiakan ciptaan Allah. Nasi sekali pun.
Renungi kawan, segala yang ada di dunia
ada penyebabnya, penyebab keberadaan hingga penyebab kebinasaan. Nah, sebutir
nasi berasal dari beras yang berasal dari tanaman padi. Perlu proses yang
panjang termasuk campur tangan manusia di situ setelah diciptakan Tuhan.
Pertama, ketika petani dan masyarakat
membutuhkan beras, perlu orang yang menanam padi. Siapa yang siap? Tentu petani
itu sendiri!
Kedua, untuk menanam padi, petani perlu
lahan untuk menyemai bibit padi yang berupa butir-butir gabah. Ketahuilah
kawan, di sini petani bekerja bercucuran keringat bahkan rela berpanas-panas
dan terkena hujan demi menyiapkan tempat tanam.
Untuk petani kaya dengan lahan luas,
tentu harus merogoh kantong untuk mempekerjakan tetangga atau orang lain.
Ketiga, untuk menanam bibit yang sudah
tumbuh ditempat semaian, petani menyiapkan lahan untuk menanam bibit yang sudah
tumbuh 3 minggu itu. Ini perlu lahan luas dibanding lahan yang disiapkan
sebelumnya. Petani berjuang sekuat tenaga dengan bermandi keringat.
Tentu saja, petani dengan lahan luas,
selain tenaga juga harus menyiapkan sejumlah uang untuk membayar tenaga
menyiapkan lahan.
Keempat, saatnya menanam bibit padi.
Butuh tenaga, keringat petani kembali mengaliri sawah. Butuh juga pundi-pundi
untuk membayar keringat orang yang membantunya.
Kelima, perjuangan petani berlanjut
dengan memupuk tanaman. Pupuk bisa dibeli uang bagi yang berkecukupan. Pupuk
cukup mengumpulkan dari kotoran hewan piaraan bagi yang tiada cukup modal.Semua
ini juga mengalirkan air keringat di sawah.
Keenam, saat tanaman bertumbuh, petani
menyiangi dengan sepenuh cinta agar rumput liar tidak menggangu. Petani juga sangat
sayang dengan tanamannya, menyemprot padi untuk mengusir hama, agar tanaman
tumbuh baik.
Ketujuh, bukti cinta petani memupuk
kedua kali agar tanaman sehat saat siap berbuah. Kembali keringat dan uang
dikeluarkan dengan rela.
Kedelapan, cinta yang semakin besar,
petani menyiangi kedua kali, ia tak rela tanaman yang sedang berbulir diganggu
gulma. Berharap hasil melimpah dari "dewi sri".
Kesembilan, cinta petani masih
berlanjut, dengan sabar menunggui padi dari gangguan burung yang lapar. Kalau
abai, petani akan gigit jari.
Kesepuluh, saat cinta telah membuahkan
hasil, padi siap panen.
Saksikanlah, hari yang ditunggu
walau harus berjibaku di atas lumpur, bercucuran keringat dan kehilangan
sebagian padi untuk mengganti tenaga tetangga atau orang lain yang membantunya.
Kesebelas, saat yang menguras keringat,
menjemur butir-butir gabah di bawah mentari, panas tak kau hirau demi melihat
butiran padi menjadi gabah kering giling atau disimpan agar awet. Butuh
mengucurkan keringat dua-tiga hari agar hasil sempurna!
Keduabelas, saat menggiling padi. Petani
bisa melihat hasil tanamannya menjadi beras dengan menggiling gabah di tempat
penggilingan padi.
Atau saat dulu kakek-nenek kita masih
harus menguras keringat saat menggiling padi dengan alat sederhana; bermodal
lumpang atau lesung sebagai wadah gabah dan antan/ alu sebagai penumbuknya.
Kembali keringat mengalir deras!
Ketigabelas, hasil penggilingan padi
atau tumbukan adalah butiran beras dan sekam. Selanjutnya beras akan dipisahkan
dari sekamnya untuk diolah menjadi makanan!
Keempatbelas, proses menanak nasi. Butuh
waktu untuk mencuci beras, memasaknya di atas tungku secara tradisional atau
menggunakan alat modern; menggunakan magic-jar, magic-com, alat penanak
listrik.
Setelah proses ini selesai, barulah
terlihat beras telah menjadi nasi panas yang siap di santap di meja makan!
Ketahuilah kawan, nasi hangat yang kau
makan setiap hari, ternyata harus melewati proses panjang. Penuh perjuangan
petani yang dengan cintanya rela berjibaku, memeras keringat, menguras pundi
dan mengorbankan waktu. Semua demi sebutir beras yang kelak menjadi sebutir
nasi.
Cinta petani yang mengkristal di dalam
sebutir nasi, jangan diabaikan. Jaga cinta itu dengan memanfaatkan
sebaik-baiknya, dikonsumsi sewajarnya, atau dibagikan kepada saudaramu, jangan
dibuang! Pokoknya jangan, karena nasi itu cinta, bukan sampah!
(Selesai)
________________________________
Pagak-Malang, 04-11-21
Komentar
Posting Komentar